Rabu, 30 Mei 2012

Pisau dan Botol Bir

Aku meletakkan pisaumu di atas ranjang. Di sisi botol bir yang telah lama terbaring dalam keadaan kosong. Ranjangku seperti meja, Tempat segalanya tersaji. Dicicipi dan kemudian dibersihkan dari segala sisa. Ini adalah pisaumu. Pisau yang kucuri dari lambungmu. Lambungmu yang berdarah. Pisau ini juga berdarah. Darahmu.
Aku perhatikan pisau itu seperti berkedip pada botol bir. Dan botol bir tersenyum pada pisaumu. Mereka seperti sepasang kekasih di atas ranjang. Saling diam untuk kemudian saling lahap dengan buas.  Botol bir itu aku beli dari warung di depan gang rumahku. Karena kampungku adalah kampung yang relijius. Pemilik warung itu sembunyi-sembunyi menjualnya. Akupun sembunyi-sembunyi membelinya. Tadinya tak tersedia bir di sana. Hanya karena aku bersedia membeli dengan harga lebih, maka pemilik warung akhirnya mau menyediakan bir. Aku kecanduan bir sejak mengenalmu. Kau ingat. Sebotol bir pada pertemuan pertama itu. Pahit kurasakan. Tapi entah kenapa kau begitu pintar membujuk hingga seisi botol mengalir ke perutku, meresap ke darah, naik ke kepala. Lalu kepalaku begitu berat. Seperti ada galon atau drum dalam kepalaku. Berat. Berat sekali. Tapi semakin berat kurasakan semakin asyik. Dan senyummu semakin menawan.
Pada hari itu. Dengan kepala yang berat aku mengikuti ajakanmu untuk berjalan menyusuri trotoar, mencari toko yang khusus menjual aneka macam pisau. Lama sekali sekali di toko itu. Mengamati pisau demi pisau. Mulai pisau dapur hingga pisau yang bentuknya aneh. Sampai akhirnya kau menemukan yang kau inginkan. Sebuah pisau. Seperti pisau yang biasa digunakan untuk perlengkapan bertempur para tentara. Barangkali cuma tiruan. Kau memilih pisau yang tajam di kedua sisinya. Kau bilang, “Beginilah hidup itu, harus tajam depan ataupun belakang.” Lantas kau mengajakku pulang sambil menimang-nimang pisau itu, kelihatannya berat dan sangat tajam. Aku menurut saja mengikuti langkahmu. Kepala semakin berat. Semakin nikmat.
Pada hari-hari selanjutnya. Kau tak pernah lepas dari pisau dan aku tak bisa lepas dari botol bir. Kau senang sekali mengasah pisau itu pada botol bir. Botol yang telah kosong kureguk isinya. Pisau yang itu-itu juga. Tapi botol birnya selalu tak pernah sama. Kau akan tersenyum jika pisaumu berkilat. Tersenyum bahagia. Akupun sama. Tersenyum bahagia jika botol bir sudah kosong.
Tak ada hari tanpamu. Tiada hari tanpa pisau dan botol bir. Di mana pun. Kapan pun. Aku lebih senang jika kau mendentingkan pisau itu pada botol bir. Hanya sekali denting untuk setiap botol.  Tapi seperti abadi. Jernih dan bening. Tajam. Kadang kupikir. Pisaumu itu menyimpan seluruh kenangan botol-botol birku. Tak ada botol bir yang tak tersentuh pisaumu. Bahkan pisaumulah yang hapal berapa jumlah botol bir yang kureguk.
Maka tebersit untuk merebut pisaumu. Tak mungkin meminta, tak akan kau berikan. Kau begitu sayang pada pisau itu, melebihi sayangmu padaku. Satu-satunya cara adalah merebut. Dengan resiko aku akan kehilanganmu. Tak jadi soal. Aku juga begitu sayang pada hari-hari yang berlalu. Pada kenangan. Pada botol-botol birku. Ini melebihi sayangku padamu. Sehari tanpamu, tak akan membuatku gila. Tapi sehari tanpa botol bir, aku bisa meledak atau bahkan menyusut hingga lenyap.
Aku ingin pisau dan botol bir itu abadi bersamaku. 
Tentu saja tak mudah untuk mewujudkan keinginanku. Aku seringkali terlalu mabuk. Dan teringat pada rencana semula ketika kau telah pergi, ketika tinggal aroma tubuhmu saja di tubuhku. Selalu begitu. Akupun kesepian seperti botol-botol bir yang tergeletak kosong ditinggalkan pisaumu. Dentingnya tertinggal seperti sihir.
Tapi kini, di atas ranjang. Tak ada aku dan kau. Tak ada. Yang ada hanya pisaumu dan botol bir. Bahagianya diriku. Sepertinya pisaumu itu tak sabar ingin mengasah kilat, dan botol bir segera ingin berdenting. Lekas kuraih keduanya. Kubayangkan dirimu yang sedang mengasah dan perlahan mendentingkan keduanya. Seperti sloki dengan sloki. Bahkan lebih dari sloki. Bunyi yang menghancurkan sunyi sekaligus membangunnya kembali dengan indah.
Sedikit gemetar tanganku memegang keduanya. Kupandangi lekat dua sisi tajam pisaumu, sisa darah berkumpul di ujungnya yang runcing. Lantas hijau warna botol bir. Pelan kutempelkan. Kuasah dengan berdebar. Beginikah rasanya. Ya beginikah yang kau rasakan setiap kali melakukannya. Ada darah yang berpindah, menempel ke botol bir. Darahmu itu. Maniskah? Semanis ciumanmu?
Tak sabar. Tanganku bergerak cepat menabuh botol dengan pisau. Tapi. Bangsat. Denting yang lahir sungguh berbeda. Kenapa justru bunyi perih yang muncul. Bukan denting yang jernih dan bening. Denting yang sekali tapi memanjang dalam ingatan, menciptakan jalan yang melengkung, berkelok, lurus. Seperti perjalanan yang penuh dengan beragam lanskap. Perjalanan tanpa ujung. Kuulangi lagi. Malah semakin perih dan nyeri. Berulangkali. Sampai pada suara. Prang. Botol itu pecah jadi dua. Beling hijau berserakan di atas ranjang. Sakit sekali rasanya.
Seperti ada tawamu. Tiba-tiba datang dan memenuhi udara. Aku melempar pisaumu ke atas ranjang, ke atas pecahan beling botol bir. Ranjang menjelma taman duri, reruncing seperti memanggil, seperti bunga mekar yang menanti disentuh dan dipetik.
Bergegas aku belari menuju warung langgananku. Hampir melupakan ritual sembunyi-sembunyi. Aku sampai seperti hendak melabrak. Beruntung pemilik warung itu sigap pada kedatanganku yang tak biasa. Tanpa basa-basi dia memberi isyarat untuk menunggu di belakang warung. Sebuah ransel menungguku di sana. Pintar sekali dia. Alih-alih membeli sesuatu, aku seakan-akan datang untuk meminjam ransel.
“Pakailah! Jangan lupa oleh-olehnya!” begitu teriaknya seusai ransel berpindah ke tanganku. Suara keras kutangkap sebagai perintah untuk segera pergi. Di saat yang sama seakan memberi penjelasan pada para pembeli yang ada di warungnya. Sambil berjalan pulang kudengar ia sedang mengarang cerita tentang kepergianku untuk mendaki gunung. Pedagang memang pintar membual.
Ransel itu kupegang erat. Berat. Sambil berjalan, tanganku diam-diam memeriksa isinya. Gila. Ada tiga botol. Sesampainya di kamar, kukeluarkan semuanya. Kubaringkan di atas ranjang, di atas beling. Kuambil pembuka botol yang selalu setia berada dalam tas.
Tentu saja botol-botol itu harus kosong terlebih dahulu. Tak ada gelas. Tak pernah ada gelas. Ketiga botol itu sama hijaunya, sama motoknya. Kuraih satu, yang paling dekat dengan pisau. Trak. Terbuka sudah. Mulutku juga terbuka secara otomatis. Mengalirlah, mengalirlah. Kuminum tanpa jeda. Mengalirlah, mengalirlah. Basahlah tenggorokan. Mengalirlah menggenangi dada, mengalirlah dalam darah, bertualang dalam tubuh. Mengalirlah, mengalirlah naik ke kepala. Ah.
Ada yang memberat. Bergoyang. Seperti ranjang yang bergoyang.
Pisaumu melirik tajam. Tajam pada botol yang telah kosong. “Kemarilah, kemarilah!” seperti berbisik. Pisau itu seperti bergoyang, Bergoyang. Seperti kau.  Seperti itu juga dirimu. Terbaring dan berbisik.
“Sebentar!” desahku sambil menjilat tetes terakhir. 
Pelan aku meraih pisaumu, seakan sedang meraih tubuhmu. Kugenggam. Kembali kuasah. Kuasah pada botol. Darahmu sudah hampir mengering. Hanya sedikit yang menempel di hijau botol. Pelan aku mengasahnya. Serupa menyentuhkan tubuhku ke tubuhmu. Kupejamkan mata, menanti saat paling tepat, paling nikmat untuk menciptakan denting. Terngiang seluruh denting yang pernah kau lahirkan. Kepalaku dipenuhi karnaval kenangan. Ada sungai yang tumbuh mengalirkan denting. Aku hendak hanyut dalam sungai yang arusnya menyerupai dirimu. Tidak. Tak ada lagi dirimu. Kubuka mata dan langsung terbentur pada tajam pisau yang masih terasah. Kutarik perlahan. Lantas kudentingkan pada hijau botol. Yang terbit malah lengking. Lengking yang menajam. Lengking anjing. Lengking suaramu. Geram. Kuulangi lagi. Seperti tadi. Berulang-ulang. Dan. Prang. Pecah kembali. Botol tebal itu kembali pecah. Selintas kulihat kilat di tajam pisaumu. Mengerjap. Kenapa nampak seperti kilat matamu. Begitu utuhkah kau merasuk dalam pisau itu.
Masih ada dua botol. Dua botol yang harus kosong terlebih dahulu. Rakus kubuka kembali. Kulumat bibir botol itu. Mengalirlah kembali. Tenggorokan. Dada. Darah. Bermuara di kepala. Semakin berat dan bergoyang. Sebelah tanganku botol, tangan yang lain pisau. Ditubuhku ada gemuruh laut, ada gemuruh kerinduan.
Pisaumu sekarang nampak tersenyum. Senyum nakalmu. Senyum nakalmu itu  yang  selalu menggoda. Yang selalu menggoda dan tak dapat kutolak. Sesekali nampak jelas raut wajahmu. Gerak bibirmu. Pisaumu kucium tanpa sadar. Kucium sisa darahmu itu. Manis. Sedikit kujilat. Kujilat dua sisi tajamnya. Sisi tajamnya. Cepat aku tersadar. Pisaumu menginginkan botol bukan menginginkanku.
Aku asah kembali. Lebih pelan dari tadi, namun lama-lama lebih cepat dari sebelumnya. Nyaris tak terkendali. Bukan lagi kenikmatan yang hinggap. Namun lebih dari amarah dari kepenasaran yang tak terpuaskan. Aku asah penuh tenaga. Sekedar untuk mengambil ancang-ancang untuk mendentingkan. Bukan lagi mendentingkan. Tanganku bergerak semakin kasar. Pisau itu kini aku pukulkan pada botol. Teng. Aku diserbu suara lonceng. Ya. lebih mirip suara lonceng.  Aku pukulkan lagi. Suara lonceng bergema. Lonceng di sebuah menara yang terpencil dan sunyi. Lonceng yang mengabarkan kematian. Lonceng kematian. Aku pukulkan lagi lebih keras. Lebih keras. Lonceng kematian susul menyusul. Lonceng kematianmu seperti mengejarku. Kulirik gerak pisau itu. Ah. Seperti gerak tubuhmu. Prang. Ini kali ketiga. Tubuh botol pecah menjadi dua. Seperti diriku yang kadang kurasakan pecah menjadi dua. Satu untuk terang, satu untuk gelap. Beling makin melimpah di atas ranjang. Beling hijau dan tubuh yang pecah.
Suara tawamu muncul kembali. Tawa dalam puncak luka. Apa bedanya tawa luka dan tawa bahagia jika sama-sama berada di puncak. Tak ada bedanya. Tak.
Kepalaku semakin memberat dan bergoyang. Pisaumu dan botol bir yang tersisa sama-sama bergoyang. Seperti menari. Pisaumu menjelma dirimu, botol bir menjelma diriku. Aku seperti menyaksikan dirimu dan diriku. Di atas ranjang. Di atas beling. Menari di atas beling. Pisaumu semakin menjelma dirimu. Tubuh pisau adalah tubuhmu. Telanjang. Meliuk dan basah. Pelan parasmu berkelebat, tanganmu muncul, kakimu bangkit dan darah mengucur di lambungmu. Begitu pula botol bir, begitu hidup mewujud diriku.  Hampir jatuh kuraih keduanya. Aku ikut bergulingan di atas ranjang. Bergumul di atas beling. Seperti penari kuda lumping tubuhku  menggeliat oleh tusukan beling. Ada yang kembali merasukiku dengan hebat. Tak dapat kutolak, tak dapat kutahan. Ini lebih dahsyat dari senyum nakalmu. Lebih nikmat dari eranganmu.
Aku peluk pisau dan botol. Bergulingan. Bergulingan. Kupeluk dirimu sekaligus diriku.
Pisau itu menikam. Botol itu terbuka. Buih mengalir. Sambil terbaring, kureguk isi botol. Semuanya. Tidak. Sebagian menyiram tubuhku yang terus bergulingan memeluk pisau. Memeluk dirimu. Kupeluk erat. Erat sekali. Aku ingin kau masuk dalam dadaku. Masuk dan tak keluar lagi. Masuk, masuklah. Aku pukulkan botol ke hulu pisau. Aaah! Denting itu. Denting terlahir dari pukulan botol kosong ke hulu pisau, dari pisau yang menusuk tepat ke ulu hati. Barangkali denting itu muncul dari ulu hati yang tertusuk ujung pisau. Aku pukul lagi. Pukul lagi. Semakin menancap. Semakin dalam. Tiba-tiba aku ingin lelap. Tiba-tiba aku mendapat apa yang kucari. Denting. Bening dan jernih.
Aku terus bergulingan. Memeluk pisau dan botol. Serasa memeluk dirimu dan diriku. Dirimu dan diriku. Aku bergulingan di atas luka. Di atas bahagia. Di atas ranjang.***

Kedungpanjang, 2012

1 komentar: