Aku meletakkan pisaumu di atas ranjang.
Di sisi botol bir yang telah lama terbaring dalam keadaan kosong. Ranjangku
seperti meja, Tempat segalanya tersaji. Dicicipi dan kemudian dibersihkan dari
segala sisa. Ini adalah pisaumu. Pisau yang kucuri dari lambungmu. Lambungmu
yang berdarah. Pisau ini juga berdarah. Darahmu.
Aku perhatikan pisau itu seperti berkedip
pada botol bir. Dan botol bir tersenyum pada pisaumu. Mereka seperti sepasang
kekasih di atas ranjang. Saling diam untuk kemudian saling lahap dengan
buas. Botol bir itu aku beli dari warung
di depan gang rumahku. Karena kampungku adalah kampung yang relijius. Pemilik
warung itu sembunyi-sembunyi menjualnya. Akupun sembunyi-sembunyi membelinya.
Tadinya tak tersedia bir di sana. Hanya karena aku bersedia membeli dengan
harga lebih, maka pemilik warung akhirnya mau menyediakan bir. Aku kecanduan
bir sejak mengenalmu. Kau ingat. Sebotol bir pada pertemuan pertama itu. Pahit
kurasakan. Tapi entah kenapa kau begitu pintar membujuk hingga seisi botol
mengalir ke perutku, meresap ke darah, naik ke kepala. Lalu kepalaku begitu
berat. Seperti ada galon atau drum dalam kepalaku. Berat. Berat sekali. Tapi
semakin berat kurasakan semakin asyik. Dan senyummu semakin menawan.
Pada hari itu. Dengan kepala yang berat
aku mengikuti ajakanmu untuk berjalan menyusuri trotoar, mencari toko yang
khusus menjual aneka macam pisau. Lama sekali sekali di toko itu. Mengamati
pisau demi pisau. Mulai pisau dapur hingga pisau yang bentuknya aneh. Sampai
akhirnya kau menemukan yang kau inginkan. Sebuah pisau. Seperti pisau yang
biasa digunakan untuk perlengkapan bertempur para tentara. Barangkali cuma
tiruan. Kau memilih pisau yang tajam di kedua sisinya. Kau bilang, “Beginilah
hidup itu, harus tajam depan ataupun belakang.” Lantas kau mengajakku pulang
sambil menimang-nimang pisau itu, kelihatannya berat dan sangat tajam. Aku
menurut saja mengikuti langkahmu. Kepala semakin berat. Semakin nikmat.
Pada hari-hari selanjutnya. Kau tak
pernah lepas dari pisau dan aku tak bisa lepas dari botol bir. Kau senang
sekali mengasah pisau itu pada botol bir. Botol yang telah kosong kureguk
isinya. Pisau yang itu-itu juga. Tapi botol birnya selalu tak pernah sama. Kau
akan tersenyum jika pisaumu berkilat. Tersenyum bahagia. Akupun sama. Tersenyum
bahagia jika botol bir sudah kosong.
Tak ada hari tanpamu. Tiada hari tanpa
pisau dan botol bir. Di mana pun. Kapan pun. Aku lebih senang jika kau
mendentingkan pisau itu pada botol bir. Hanya sekali denting untuk setiap
botol. Tapi seperti abadi. Jernih dan
bening. Tajam. Kadang kupikir. Pisaumu itu menyimpan seluruh kenangan
botol-botol birku. Tak ada botol bir yang tak tersentuh pisaumu. Bahkan
pisaumulah yang hapal berapa jumlah botol bir yang kureguk.
Maka tebersit untuk merebut pisaumu. Tak
mungkin meminta, tak akan kau berikan. Kau begitu sayang pada pisau itu,
melebihi sayangmu padaku. Satu-satunya cara adalah merebut. Dengan resiko aku
akan kehilanganmu. Tak jadi soal. Aku juga begitu sayang pada hari-hari yang
berlalu. Pada kenangan. Pada botol-botol birku. Ini melebihi sayangku padamu.
Sehari tanpamu, tak akan membuatku gila. Tapi sehari tanpa botol bir, aku bisa
meledak atau bahkan menyusut hingga lenyap.
Aku ingin pisau dan botol bir itu abadi
bersamaku.
Tentu saja tak mudah untuk mewujudkan
keinginanku. Aku seringkali terlalu mabuk. Dan teringat pada rencana semula
ketika kau telah pergi, ketika tinggal aroma tubuhmu saja di tubuhku. Selalu
begitu. Akupun kesepian seperti botol-botol bir yang tergeletak kosong
ditinggalkan pisaumu. Dentingnya tertinggal seperti sihir.
Tapi kini, di atas ranjang. Tak ada aku
dan kau. Tak ada. Yang ada hanya pisaumu dan botol bir. Bahagianya diriku.
Sepertinya pisaumu itu tak sabar ingin mengasah kilat, dan botol bir segera
ingin berdenting. Lekas kuraih keduanya. Kubayangkan dirimu yang sedang mengasah
dan perlahan mendentingkan keduanya. Seperti sloki dengan sloki. Bahkan lebih
dari sloki. Bunyi yang menghancurkan sunyi sekaligus membangunnya kembali
dengan indah.
Sedikit gemetar tanganku memegang
keduanya. Kupandangi lekat dua sisi tajam pisaumu, sisa darah berkumpul di
ujungnya yang runcing. Lantas hijau warna botol bir. Pelan kutempelkan. Kuasah
dengan berdebar. Beginikah rasanya. Ya beginikah yang kau rasakan setiap kali
melakukannya. Ada darah yang berpindah, menempel ke botol bir. Darahmu itu.
Maniskah? Semanis ciumanmu?
Tak sabar. Tanganku bergerak cepat
menabuh botol dengan pisau. Tapi. Bangsat. Denting yang lahir sungguh berbeda.
Kenapa justru bunyi perih yang muncul. Bukan denting yang jernih dan bening.
Denting yang sekali tapi memanjang dalam ingatan, menciptakan jalan yang
melengkung, berkelok, lurus. Seperti perjalanan yang penuh dengan beragam
lanskap. Perjalanan tanpa ujung. Kuulangi lagi. Malah semakin perih dan nyeri.
Berulangkali. Sampai pada suara. Prang. Botol itu pecah jadi dua. Beling hijau
berserakan di atas ranjang. Sakit sekali rasanya.
Seperti ada tawamu. Tiba-tiba datang dan
memenuhi udara. Aku melempar pisaumu ke atas ranjang, ke atas pecahan beling
botol bir. Ranjang menjelma taman duri, reruncing seperti memanggil, seperti
bunga mekar yang menanti disentuh dan dipetik.
Bergegas aku belari menuju warung
langgananku. Hampir melupakan ritual sembunyi-sembunyi. Aku sampai seperti
hendak melabrak. Beruntung pemilik warung itu sigap pada kedatanganku yang tak
biasa. Tanpa basa-basi dia memberi isyarat untuk menunggu di belakang warung.
Sebuah ransel menungguku di sana. Pintar sekali dia. Alih-alih membeli sesuatu,
aku seakan-akan datang untuk meminjam ransel.
“Pakailah! Jangan lupa oleh-olehnya!” begitu
teriaknya seusai ransel berpindah ke tanganku. Suara keras kutangkap sebagai
perintah untuk segera pergi. Di saat yang sama seakan memberi penjelasan pada
para pembeli yang ada di warungnya. Sambil berjalan pulang kudengar ia sedang
mengarang cerita tentang kepergianku untuk mendaki gunung. Pedagang memang
pintar membual.
Ransel itu kupegang erat. Berat. Sambil
berjalan, tanganku diam-diam memeriksa isinya. Gila. Ada tiga botol. Sesampainya
di kamar, kukeluarkan semuanya. Kubaringkan di atas ranjang, di atas beling. Kuambil
pembuka botol yang selalu setia berada dalam tas.
Tentu saja botol-botol itu harus kosong
terlebih dahulu. Tak ada gelas. Tak pernah ada gelas. Ketiga botol itu sama
hijaunya, sama motoknya. Kuraih satu, yang paling dekat dengan pisau. Trak.
Terbuka sudah. Mulutku juga terbuka secara otomatis. Mengalirlah, mengalirlah.
Kuminum tanpa jeda. Mengalirlah, mengalirlah. Basahlah tenggorokan. Mengalirlah
menggenangi dada, mengalirlah dalam darah, bertualang dalam tubuh. Mengalirlah,
mengalirlah naik ke kepala. Ah.
Ada yang memberat. Bergoyang. Seperti
ranjang yang bergoyang.
Pisaumu melirik tajam. Tajam pada botol
yang telah kosong. “Kemarilah, kemarilah!” seperti berbisik. Pisau itu seperti
bergoyang, Bergoyang. Seperti kau. Seperti
itu juga dirimu. Terbaring dan berbisik.
“Sebentar!” desahku sambil menjilat
tetes terakhir.
Pelan aku meraih pisaumu, seakan sedang
meraih tubuhmu. Kugenggam. Kembali kuasah. Kuasah pada botol. Darahmu sudah hampir
mengering. Hanya sedikit yang menempel di hijau botol. Pelan aku mengasahnya.
Serupa menyentuhkan tubuhku ke tubuhmu. Kupejamkan mata, menanti saat paling
tepat, paling nikmat untuk menciptakan denting. Terngiang seluruh denting yang
pernah kau lahirkan. Kepalaku dipenuhi karnaval kenangan. Ada sungai yang
tumbuh mengalirkan denting. Aku hendak hanyut dalam sungai yang arusnya
menyerupai dirimu. Tidak. Tak ada lagi dirimu. Kubuka mata dan langsung
terbentur pada tajam pisau yang masih terasah. Kutarik perlahan. Lantas
kudentingkan pada hijau botol. Yang terbit malah lengking. Lengking yang
menajam. Lengking anjing. Lengking suaramu. Geram. Kuulangi lagi. Seperti tadi.
Berulang-ulang. Dan. Prang. Pecah kembali. Botol tebal itu kembali pecah.
Selintas kulihat kilat di tajam pisaumu. Mengerjap. Kenapa nampak seperti kilat
matamu. Begitu utuhkah kau merasuk dalam pisau itu.
Masih ada dua botol. Dua botol yang
harus kosong terlebih dahulu. Rakus kubuka kembali. Kulumat bibir botol itu.
Mengalirlah kembali. Tenggorokan. Dada. Darah. Bermuara di kepala. Semakin
berat dan bergoyang. Sebelah tanganku botol, tangan yang lain pisau. Ditubuhku
ada gemuruh laut, ada gemuruh kerinduan.
Pisaumu sekarang nampak tersenyum.
Senyum nakalmu. Senyum nakalmu itu
yang selalu menggoda. Yang selalu
menggoda dan tak dapat kutolak. Sesekali nampak jelas raut wajahmu. Gerak
bibirmu. Pisaumu kucium tanpa sadar. Kucium sisa darahmu itu. Manis. Sedikit
kujilat. Kujilat dua sisi tajamnya. Sisi tajamnya. Cepat aku tersadar. Pisaumu
menginginkan botol bukan menginginkanku.
Aku asah kembali. Lebih pelan dari tadi,
namun lama-lama lebih cepat dari sebelumnya. Nyaris tak terkendali. Bukan lagi
kenikmatan yang hinggap. Namun lebih dari amarah dari kepenasaran yang tak
terpuaskan. Aku asah penuh tenaga. Sekedar untuk mengambil ancang-ancang untuk
mendentingkan. Bukan lagi mendentingkan. Tanganku bergerak semakin kasar. Pisau
itu kini aku pukulkan pada botol. Teng. Aku diserbu suara lonceng. Ya. lebih
mirip suara lonceng. Aku pukulkan lagi.
Suara lonceng bergema. Lonceng di sebuah menara yang terpencil dan sunyi.
Lonceng yang mengabarkan kematian. Lonceng kematian. Aku pukulkan lagi lebih
keras. Lebih keras. Lonceng kematian susul menyusul. Lonceng kematianmu seperti
mengejarku. Kulirik gerak pisau itu. Ah. Seperti gerak tubuhmu. Prang. Ini kali
ketiga. Tubuh botol pecah menjadi dua. Seperti diriku yang kadang kurasakan
pecah menjadi dua. Satu untuk terang, satu untuk gelap. Beling makin melimpah
di atas ranjang. Beling hijau dan tubuh yang pecah.
Suara tawamu muncul kembali. Tawa dalam
puncak luka. Apa bedanya tawa luka dan tawa bahagia jika sama-sama berada di
puncak. Tak ada bedanya. Tak.
Kepalaku semakin memberat dan bergoyang.
Pisaumu dan botol bir yang tersisa sama-sama bergoyang. Seperti menari. Pisaumu
menjelma dirimu, botol bir menjelma diriku. Aku seperti menyaksikan dirimu dan
diriku. Di atas ranjang. Di atas beling. Menari di atas beling. Pisaumu semakin
menjelma dirimu. Tubuh pisau adalah tubuhmu. Telanjang. Meliuk dan basah. Pelan
parasmu berkelebat, tanganmu muncul, kakimu bangkit dan darah mengucur di
lambungmu. Begitu pula botol bir, begitu hidup mewujud diriku. Hampir jatuh kuraih keduanya. Aku ikut
bergulingan di atas ranjang. Bergumul di atas beling. Seperti penari kuda
lumping tubuhku menggeliat oleh tusukan
beling. Ada yang kembali merasukiku dengan hebat. Tak dapat kutolak, tak dapat
kutahan. Ini lebih dahsyat dari senyum nakalmu. Lebih nikmat dari eranganmu.
Aku peluk pisau dan botol. Bergulingan.
Bergulingan. Kupeluk dirimu sekaligus diriku.
Pisau itu menikam. Botol itu terbuka.
Buih mengalir. Sambil terbaring, kureguk isi botol. Semuanya. Tidak. Sebagian
menyiram tubuhku yang terus bergulingan memeluk pisau. Memeluk dirimu. Kupeluk
erat. Erat sekali. Aku ingin kau masuk dalam dadaku. Masuk dan tak keluar lagi.
Masuk, masuklah. Aku pukulkan botol ke hulu pisau. Aaah! Denting itu. Denting terlahir
dari pukulan botol kosong ke hulu pisau, dari pisau yang menusuk tepat ke ulu
hati. Barangkali denting itu muncul dari ulu hati yang tertusuk ujung pisau.
Aku pukul lagi. Pukul lagi. Semakin menancap. Semakin dalam. Tiba-tiba aku
ingin lelap. Tiba-tiba aku mendapat apa yang kucari. Denting. Bening dan
jernih.
Aku terus bergulingan. Memeluk pisau dan
botol. Serasa memeluk dirimu dan diriku. Dirimu dan diriku. Aku bergulingan di
atas luka. Di atas bahagia. Di atas ranjang.***
Kedungpanjang, 2012
kuda99/
BalasHapusbajakqq/
gorilaqq/
http://1klik66.pro/
kokoqq99.pw/
tandaqq/
http://199.188.201.133/
rasqq/
samaqq99.pw/