Rabu, 30 Mei 2012

Ibu Kota


Matahari. Terik. Panas. Membakar. Aku tak tahu hendak dibawa ke mana. Ini katanya ibu kota. Tadi pagi aku sampai di Terminal Rambutan, muntah-muntah di samping bis. Muntah-muntah tak henti. Sampai pamanku hampir memukulku. Aku lupa mobil apa yang kunaiki lagi. Begitu berdesakan. Sampai juga di jalan ini. Berteduh sebentar di bawah jalan layang yang ajaib. Aku lihat gedung-gedung menjulang. Seperti bukit di kampungku. Bukit-bukit yang seringkali longsor. Ya. Longsor. Rumahku hilang karena longsor juga. Begitu pula ibu dan bapakku. Hilang dalam timbunan tanah.
Pamanku tak banyak bicara. Pamankulah yang membawaku dari kampung ke bawah jalan layang. Ibu kota. Ya. Ibu kota. Gedung-gedung itu terus saja bersarang di mataku. Begitu besar dan tinggi. Kupikir, bukit belakang rumahku, bukit yang longsor itu, kalah tingginya oleh gedung-gedung di sini. Aku tak tahu apakah gedung-gedung ini juga suka longsor jika musim hujan tiba. Kubayangkan gedung-gedung itu saling bertubrukan dan jatuh dengan suara yang keras. Seperti suara batu yang beradu. Bagimana jika jalan layang di atas kepalaku runtuh.  Tiba-tiba saja kepalaku pening dan sakit.
Rokok di jepitan jari pamanku hampir habis. Ia mengisapnya sambil memandang mobil-mobil yang tak henti melesat di jalanan. Barangkali ia takut untuk menyeberang. Ah, tak mungkin, ia telah puluhan tahun di ibu kota ini. Kalau aku tentu saja takut dan bingung. Bagaimana caranya menyeberang jalan seramai ini. Mobil-mobil dan motor saling berlomba di jalanan. Ibu kota ini memang membingungkan dan menakutkan.
“Ayo!” Pamanku memberi komando sambil menarik tangan kiriku yang masih menunjuk-nunjuk dan menghitung gedung-gedung yang menjulang.
Aku menurut saja. Sekalipun langkahku seringkali terhenti jika melihat mobil yang berpacu dengan kencang seperti hendak menabrak aku dan pamanku. Setiap kali langkahku terhenti tiba-tiba, segera saja pamanku melontarkan caci maki. Memarahiku di tengah jalan, di atas aspal, di bawah matahari, dan di antara suara knalpot juga klakson. Akhirnya kupejamkan mata. Kubiarkan kakiku melangkah mengikuti tarikan tangan pamanku di tanganku. Aku tak berani melihat isi jalanan.
Sesampainya di seberang jalan. Aku seperti terlepas dari neraka. Barangkali seperti inilah jalan menuju surga yang sering dikisahkan oleh guru ngajiku di kampung. Bedanya ini bukanlah rambut belah tujuh. Tapi tetap saja. Aku tak dapat berjalan. Aku harap, kelak ada yang menuntunku, seperti pamanku, jika aku berjalan menuju surga. Kupikir malaikat akan bersedia. Bukankah malaikat itu baik?
Matahari ibu kota kembali membakar kepala dan tubuh. Bayang-bayang di trotoar. Andai aku bisa berteduh dalam bayang-bayang sendiri. Pamanku terus berjalan. Terus mencaci. Jalannya cepat sekali. Aku harus berlari-lari agar tidak tertinggal. Celaka jika tertinggal. Caciannya akan semakin keras dan kasar. Keringat yang tadi saja belum kering. Kini lebih membanjir. Tubuhku kuyup. Perutku terus berbunyi. Aku merasa tubuhku dipenuhi mobil dan motor yang berpacu. Penuh dengan suara knalpot dan klakson.
“Cepat!” Bentak pamanku ketika aku mencoba berteduh di bawah sebuah pohon. Pohon yang nampak kering dan tersiksa. Jarang sekali pohon di sini. Tak seperti di kampungku. Pohon-pohon lebih banyak dari rumah. Ibu kota justru sebaliknya. Padahal pohon adalah surga bagiku. Tempat bermain paling nyaman. Bisa naik ke dahan-dahan. Berteriak dan bernyanyi di atas pohon. Bagaimana anak-anak di ibu kota bermain, jika pohon saja hampir tak ada. Aku teringat ayah yang sering memanjat pohon kelapa di belakang rumah. Ingat ibu yang setiap sore menyiram tanaman di kebun mungil belakang rumah. Ayah, ibu, rumah, kebun, pohon kelapa. Semuanya yang hilang dalam timbunan tanah. Kadang aku menyesal, kenapa malam itu menurut saja disuruh menginap di mesjid oleh ayahku. Kalau saja aku tidur di rumah, mungkin sekarang masih berkumpul bersama ayah dan ibu. Berkumpul di surga. Aku sendiri tak tahu surga itu di mana. Tapi pasti bukan di ibu kota ini. Surga pastinya penuh dengan pohonan.
Pamanku berbalik. Berjalan ke arahku. Tangannya cepat sekali menangkap tangan kiriku. Menarikku sambil menggerutu. Nyaris tergusur. Menyusuri trotoar. Menyeberang lagi jalan. Jalan yang lebih kecil. Namun tetap saja mobil dan motor begitu banyak. Padat dan merayap. Tak ada yang berlesatan. Jalan begitu penuh. Kadang tak ada yang bergerak. Hanya suara-suara yang berlomba. Aku melirik wajah-wajah yang terperangkap di jalanan. Wajah-wajah penuh amarah. Mereka hendak meledak. Aneh, aku seperti melihat orang-orang dengan kepala petasan. Petasan yang sering kusulut sumbunya dan meledak menjelang malam lebaran.
Pamanku kembali berbelok ke jalan yang lebih kecil lagi. Pinggiran jalan dipenuhi para pedagang. Semakin dalam semakin padat. Seperti pasar. Aku kecapean dan kelaparan. Kakiku seperti tak kuat lagi melangkah. Terseret-seret. Kupaksakan sebab takut pada kemarahan pamanku. Pamanku seorang pemarah. Pernah kulihat ia mengamuk dalam rumah. Rumah yang hilang dalam timbunan tanah. Ia membawa golok dan membentak-bentak ayahku.
“Cepat! Sebentar lagi sampai. Setelah Pasar Ular ini. Kita sampai!” suaranya seperti menggelegar.
Pasar Ular. Aku cepat melihat ke sekeliling. Tapi tak nampak ular. Aku rindu pada ular-ular di sawah, di pohonan, di sungai. Banyak sekali ular di kampungku. Ular hijau di pohon rambutan. Ular kobra di batu-batu. Juga ular mungil yang suka ada di selokan depan rumah. Tapi di sini tak ada ular. Hanya para pedagang dan pembeli. Adapula pedagang makanan. Ah, perutku dan mulutku seperti hendak lepas dari tubuh dan melompat ke pedagang makanan itu. Aku melihat macam-macam makanan. Tapi pamanku sepertinya membenci makanan. Ya. Pamanku membenci segalanya.
Kepalaku tambah pening. Perut perih. Mata berkunang-kunang. Yang kurasakan hanyalah tarikan tangan pamanku. Tangan yang kokoh dan kasar. Aku tersaruk-saruk dan hampir jatuh. Tergusur. Tahu-tahu aku sudah ada di atas punggung pamanku. Matahari seperti berada di punggungku. Lantas segalanya gelap.
Aku terbangun oleh suara orang bercakap. Keras sekali. Tubuhku bergetar. Panas dan dingin bercampur. Mataku berkeliling letih. Pedih. Sebuah lampu menggantung. Cahaya berpendar sebelum semuanya nampak jelas. Sudah malam. Barangkali aku masih bermimpi. O, banyak sekali nyamuk. Bising dan menggigit. Gatal-gatal sekujur tubuh. Aku tergeletak di atas kasur tipis tanpa ranjang. Bukan. Ini bukan ranjang. Tapi hamparan kardus. Seperti tikar menutupi seluruh lantai. Lantai atau tanah. Aku tak tahu. Ada banyak barung-karung kecil bertumpuk di sudut-sudut kamar. Obat nyamuk bakar mengepulkan asap. Kamar siapa ini. Dikelilingi triplek dan kardus yang bolong di sana-sini. Ada banyak gambar perempuan. Kalender. Dan baju-baju yang tergantung. Ah. Baju pamanku ternyata. Ini kamar pamanku. Pamanku yang katanya puluhan tahun berada di ibu kota.  
Lemas sekali. Di samping kasur nampak ada bungkusan. Seperti bungkusan nasi kalau ada syukuran di mesjid. Perlahan tanganku menggapainya. Menggapai-gapai. Benar juga. Bungkusan nasi dan di belakangnya terdapat air minum dalam plastik. Kupaksakan bangun karena perut ini semakin perih. Sepertinya ada benda runcing yang mengiris-ngiris. Hampir gemetar kubuka bungkusan itu. Nasi, tempe, dan tahu. Sayang, tempenya tidak seperti tempe buatan ibuku, yang selalu berwarna kekuningan. Ini hampir hitam seperti gosong.
“Hahaha…! Kau sekarang kebagian ngurus anak kakakmu itu, Sobri? Punya hati juga kau ini. Itulah karma!” Terdengar suara yang keras dibarengi tawa.
“Begitulah! Aku tak tega melihatnya sendirian di kampung tanpa apa-apa.” Suara pamanku menyahut tak kalah keras. Aneh, kenapa harus berteriak.
“Lalu mau kau apakan dia di sini? Mau kau sekolahkan lagi?”
“Hahaha..! Jakarta bukan tempat untuk sekolah, Bos! Aku akan ajak dia kerja. Gerobak kecil bekas si Karja tak dipakai, bukan? Biarlah dia belajar memakainya mulai besok. Dia harus belajar cari duit!”  Ah, suara pamanku seperti sedang gembira dan bahagia. Padahal belum lama ayah dan ibuku hilang dalam tanah. Dasar.
“Gila, kau ini! Anak sekecil itu! Ah, terserah. Kupikir kau ini sekarang punya hati. Nyatanya, kau semakin gila!”  
“Umurnya lewat 10 tahun. Cukuplah tenaganya untuk medorong gerobak itu. Jika tidak, akan kubekali karung.”
“Setan, kau! Habiskan minumannya! Jangan lupa hutangmu sudah menumpuk.”
Aku cepat menghabiskan minuman di plastik padahal nasi yang kumakan belum habis. Sungguh, seperti menyuruhku untuk menghabiskan minuman. Aku terbatuk-batuk. Air minum muncrat. Nyamuk semakin merajalela. Kamar ini seperti sarang nyamuk. Tak pernah kulihat dan kurasakan nyamuk sebanyak ini. Apakah ibu kota memang sarang nyamuk.
Tubuhku tak terlalu lemas lagi. Tenaga mulai bangkit. Tak betah dalam kamar. Nyamuk dan bau obat nyamuk membuatku ingin pergi keluar. Di luar  kudengar lagi suara-suara.
“Besi dua kilo!”
Sepi. Suara barang dilempar. Nyaring.
“Kerompong empat kilo!”
Lagi-lagi suara barang dilempar. Nyaring dan kering.
“Aqua gelas enam kilo!”
“Hey! Sinikan karungnya. Masa sekecil gitu enam kilo?! Cepat, sini! Bangsat! Cepat ke sini!” Suara orang yang tadi bercakap dengan pamanku terdengar seperti geledek.
“Kan sudah dikilo, Bos!” Sayup jawaban yang lemah.
Suara barang dilempar. Tak nyaring. Lebih mirip suara karung beras jatuh. Karung beras kecil yang suka jatuh di penggilingan beras Mang Eman. Di kampung, penggilingan itu tempatku bermain sambil meminta dedak untuk ayam.
“Sobri! Cepat periksa isi karung itu! Setan kecil ini mau main-main denganku!” Bentakan yang menyuruh pamanku.
Aku cepat mengintip dari celah-celah triplek yang bolong. Seorang lelaki tinggi besar nampak sedang memegang buku, telunjuknya lurus menunjuk ke sebuah karung yang sedang dibuka oleh pamanku. Ada seorang pemuda, berdiri dekat timbangan. Timbangan besar mirip timbangan di penggilingan padi Mang Eman. Timbangan yang seringkali kubayangkan sebagai perahu dengan muatan berkarung-karung padi yang hendak digiling. Pemuda itu ketakutan dekat timbangan. Wajah dalam terang lampu neon di luar itu mirip kucing bertemu anjing.
“Bos! Ada batu! Lihat!” Pamanku mengambil sesuatu dari dalam karung. Batu sebesar batok kelapa diacungkan. Tiba-tiba saja pemuda itu berlari. Aku mundur perlahan dan kembali duduk di atas kasur. Tempat apakah ini? Sekilas kulihat tumpukan sampah. Menggunung. Ingin segera kulihat keluar. Barangkali inilah ibu kota itu sesungguhnya. Tapi aku takut sekali sama pamanku. Aku tak sabar menanti semuanya sepi dan tidur. Lama aku hanya duduk. Bertempur dengan nyamuk.
Ibu kota. Betapa aku penasaran. Betapa aku merindukan kampung dan seisinya. Apalagi isi timbunan tanah. Tanah yang sangat kusayangi itu, ternyata menimbun orang-orang yang kusayangi.
Tak ada lagi teriakan-teriakan.
Aku mengendap ke arah pintu. Pelan kutarik.  Gundukan apa gerangan yang menyambut mataku. Menggunung. Karung-karung yang sangat besar sekali. Saling menumpuk. Bau sekali udara di sini. Seperti di tempat sampah. Tempat sampah dekat jembatan di kampungku. Baunya mirip. Ini bahkan lebih bau lagi. Aku menutup hidung. Barangkali bau neraka seperti ini. Sampah bertebaran di mana-mana. Seluas lapangan voli. Sampah dan sampah. Dari mulai plastik, botol aqua, aqua gelas, ember, dan banyak lagi. Dekat timbangan. Ada sebagian ruang yang diberi atap terpal. Kardus bertumpuk di sana. Penuh sekali. Di bagian lain besi dan kaleng berserakan. Ibu kota kok seperti tempat sampah. Bau.
Angin malam mengirim bau itu dengan kejam. Malam. Tapi gerah sekali. Berkeringat. Aku melangkah keluar. Ada beberapa gerobak berjejer. Pamanku nampak sedang membetulkan sebuah gerobak kecil. Aku mengendap lagi. Ah. Ternyata ada beberapa kamar. Ada empat kamar. Kamar dari triplek semuanya, berdempetan. Aku berjalan. Mengintip setiap kamar. Kamar samping kamarku kosong dan gelap. Ah, kamar yang lain nampak terang dan ada suara anak kecil yang menangis pelan. Aku mengintip. Ah, seorang nenek-nenek terbaring bersama empat orang anak-anak kecil. Berdesakan. Saling menindih. Ada seorang ibu sedang menyusui bayi. Bersandar pada triplek. Bagaimana mereka bernapas di sana. Tapi setidaknya mereka akan sanggup menahan serbuan nyamuk karena mereka banyak orang.
Kamar terakhir. Kamar paling bagus. Ada bangku-bangku mungil di depannya, ada banyak botol. Kamar ini berhadapan dengan timbangan. Lampunya paling terang. Ada suara TV.
“Hey! Ngapain kau ngintip kamar Bos? Dasar! Sini!” Suara pamanku menghentikan langkahku. Gemetar aku berbalik. Sekilas aku melihat banyak mainan di antara tumpukan barang-barang. Tumpukan sampah itu. Ah, mainan. Sekilas saja, sebab aku langsung menghampiri pamanku.
“Ini gerobak untukmu! Mulai besok kau kerja! Aku mau tidur!” pamanku menunjuk gerobak yang tadi diperbaikinya. Kemudian ia berjalan. Jalannya sempoyongan. Seperti orang mabuk. Ah, mungkin ia belum makan. Kelaparan. Ia terus sempoyongan hingga akhirnya berpegangan pada pintu kamar, tak lama terdengar suara tubuh yang jatuh.
Aku sendiri. Di bawah bulan. Di tengah lautan sampah. Ibu kota tak kukira seperti ini. Bau dan kotor. Aku semakin yakin saja bahwa ibu kota adalah neraka. Apa salahku hingga sampai di neraka. Pamanku mungkin iblis. Aku bergidik. Ingin segera pergi dari sini. Aku lihat lampu bertebaran di mana-mana. Seperti kunang-kunang yang kutangkapi di pekarangan mesjid. Aku ingin pergi ke setiap lampu itu. Aku ingin pergi dari neraka ini.  Ada suara berderak. Samar-samar ada yang bergerak. Barangkali ini juga iblis yang lain. aku bersembunyi. Ada gerobak didorong. Tiga gerobak. Beriringan. Penasaran. Aku dekati. Ah, ternyata orang juga.
Pelan mereka menyusuri jalan sempit yang tak rata. Suara derak roda gerobak kadang begitu gaduh. Mereka berbelok ketika sampai di jalan yang besar. Diam-diam aku mengikuti. Begitu banyak tempat seperti tempat pamanku. Karung-karung, sampah bertebaran, dan tumpukan kardus, tumpukan besi dan gerobak-gerobak serta kamar-kamar triplek.  Berjejalan sepanjang jalan. Rumah-rumah berdempetan. Tak ada pohon sama sekali. Aku berusaha menghapal jalan di neraka ini. Malam semakin gerah.
Tiba-tiba saja. Sampai di sebuah gerbang. Tuhan. Cahaya begitu gemerlap di mana-mana. Warna-warni. Lama aku mengucek-ngucek mata. Bahkan ada pohon-pohon yang berdaun cahaya. Secepat inikah neraka berganti dengan surga. Di hadapanku nampak bangunan-bangunan indah. Seperti dalam dongeng. Kenapa ibu kota mempunyai banyak wajah. Menakutkan sekaligus mempesona.
“Seandainya kita bisa masuk ke perumahan mewah itu, sampahnya bisa bikin kita kaya!” Kata salah seorang pendorong gerobak disambut tawa teman-temannya.
Aku masih tak percaya dengan mata ini. Sungguh seperti dalam dongeng. Aku membayangkan putri dan pangeran di dalamnya, bahkan kuda terbang. Aku mematung di pinggir jalan. Aku tidak mengerti kenapa surga dan neraka begitu dekat dan rapat. Ah, di manakah gerangan ayah dan ibu berada.
Tujuh tahun telah berlalu. Saat ini, sambil mendorong gerobak dan mencari rongsokan. Aku masih tak mengerti kenapa surga dan neraka begitu dekat dan rapat.
***
Kedungpanjang 2011

Pisau dan Botol Bir

Aku meletakkan pisaumu di atas ranjang. Di sisi botol bir yang telah lama terbaring dalam keadaan kosong. Ranjangku seperti meja, Tempat segalanya tersaji. Dicicipi dan kemudian dibersihkan dari segala sisa. Ini adalah pisaumu. Pisau yang kucuri dari lambungmu. Lambungmu yang berdarah. Pisau ini juga berdarah. Darahmu.
Aku perhatikan pisau itu seperti berkedip pada botol bir. Dan botol bir tersenyum pada pisaumu. Mereka seperti sepasang kekasih di atas ranjang. Saling diam untuk kemudian saling lahap dengan buas.  Botol bir itu aku beli dari warung di depan gang rumahku. Karena kampungku adalah kampung yang relijius. Pemilik warung itu sembunyi-sembunyi menjualnya. Akupun sembunyi-sembunyi membelinya. Tadinya tak tersedia bir di sana. Hanya karena aku bersedia membeli dengan harga lebih, maka pemilik warung akhirnya mau menyediakan bir. Aku kecanduan bir sejak mengenalmu. Kau ingat. Sebotol bir pada pertemuan pertama itu. Pahit kurasakan. Tapi entah kenapa kau begitu pintar membujuk hingga seisi botol mengalir ke perutku, meresap ke darah, naik ke kepala. Lalu kepalaku begitu berat. Seperti ada galon atau drum dalam kepalaku. Berat. Berat sekali. Tapi semakin berat kurasakan semakin asyik. Dan senyummu semakin menawan.
Pada hari itu. Dengan kepala yang berat aku mengikuti ajakanmu untuk berjalan menyusuri trotoar, mencari toko yang khusus menjual aneka macam pisau. Lama sekali sekali di toko itu. Mengamati pisau demi pisau. Mulai pisau dapur hingga pisau yang bentuknya aneh. Sampai akhirnya kau menemukan yang kau inginkan. Sebuah pisau. Seperti pisau yang biasa digunakan untuk perlengkapan bertempur para tentara. Barangkali cuma tiruan. Kau memilih pisau yang tajam di kedua sisinya. Kau bilang, “Beginilah hidup itu, harus tajam depan ataupun belakang.” Lantas kau mengajakku pulang sambil menimang-nimang pisau itu, kelihatannya berat dan sangat tajam. Aku menurut saja mengikuti langkahmu. Kepala semakin berat. Semakin nikmat.
Pada hari-hari selanjutnya. Kau tak pernah lepas dari pisau dan aku tak bisa lepas dari botol bir. Kau senang sekali mengasah pisau itu pada botol bir. Botol yang telah kosong kureguk isinya. Pisau yang itu-itu juga. Tapi botol birnya selalu tak pernah sama. Kau akan tersenyum jika pisaumu berkilat. Tersenyum bahagia. Akupun sama. Tersenyum bahagia jika botol bir sudah kosong.
Tak ada hari tanpamu. Tiada hari tanpa pisau dan botol bir. Di mana pun. Kapan pun. Aku lebih senang jika kau mendentingkan pisau itu pada botol bir. Hanya sekali denting untuk setiap botol.  Tapi seperti abadi. Jernih dan bening. Tajam. Kadang kupikir. Pisaumu itu menyimpan seluruh kenangan botol-botol birku. Tak ada botol bir yang tak tersentuh pisaumu. Bahkan pisaumulah yang hapal berapa jumlah botol bir yang kureguk.
Maka tebersit untuk merebut pisaumu. Tak mungkin meminta, tak akan kau berikan. Kau begitu sayang pada pisau itu, melebihi sayangmu padaku. Satu-satunya cara adalah merebut. Dengan resiko aku akan kehilanganmu. Tak jadi soal. Aku juga begitu sayang pada hari-hari yang berlalu. Pada kenangan. Pada botol-botol birku. Ini melebihi sayangku padamu. Sehari tanpamu, tak akan membuatku gila. Tapi sehari tanpa botol bir, aku bisa meledak atau bahkan menyusut hingga lenyap.
Aku ingin pisau dan botol bir itu abadi bersamaku. 
Tentu saja tak mudah untuk mewujudkan keinginanku. Aku seringkali terlalu mabuk. Dan teringat pada rencana semula ketika kau telah pergi, ketika tinggal aroma tubuhmu saja di tubuhku. Selalu begitu. Akupun kesepian seperti botol-botol bir yang tergeletak kosong ditinggalkan pisaumu. Dentingnya tertinggal seperti sihir.
Tapi kini, di atas ranjang. Tak ada aku dan kau. Tak ada. Yang ada hanya pisaumu dan botol bir. Bahagianya diriku. Sepertinya pisaumu itu tak sabar ingin mengasah kilat, dan botol bir segera ingin berdenting. Lekas kuraih keduanya. Kubayangkan dirimu yang sedang mengasah dan perlahan mendentingkan keduanya. Seperti sloki dengan sloki. Bahkan lebih dari sloki. Bunyi yang menghancurkan sunyi sekaligus membangunnya kembali dengan indah.
Sedikit gemetar tanganku memegang keduanya. Kupandangi lekat dua sisi tajam pisaumu, sisa darah berkumpul di ujungnya yang runcing. Lantas hijau warna botol bir. Pelan kutempelkan. Kuasah dengan berdebar. Beginikah rasanya. Ya beginikah yang kau rasakan setiap kali melakukannya. Ada darah yang berpindah, menempel ke botol bir. Darahmu itu. Maniskah? Semanis ciumanmu?
Tak sabar. Tanganku bergerak cepat menabuh botol dengan pisau. Tapi. Bangsat. Denting yang lahir sungguh berbeda. Kenapa justru bunyi perih yang muncul. Bukan denting yang jernih dan bening. Denting yang sekali tapi memanjang dalam ingatan, menciptakan jalan yang melengkung, berkelok, lurus. Seperti perjalanan yang penuh dengan beragam lanskap. Perjalanan tanpa ujung. Kuulangi lagi. Malah semakin perih dan nyeri. Berulangkali. Sampai pada suara. Prang. Botol itu pecah jadi dua. Beling hijau berserakan di atas ranjang. Sakit sekali rasanya.
Seperti ada tawamu. Tiba-tiba datang dan memenuhi udara. Aku melempar pisaumu ke atas ranjang, ke atas pecahan beling botol bir. Ranjang menjelma taman duri, reruncing seperti memanggil, seperti bunga mekar yang menanti disentuh dan dipetik.
Bergegas aku belari menuju warung langgananku. Hampir melupakan ritual sembunyi-sembunyi. Aku sampai seperti hendak melabrak. Beruntung pemilik warung itu sigap pada kedatanganku yang tak biasa. Tanpa basa-basi dia memberi isyarat untuk menunggu di belakang warung. Sebuah ransel menungguku di sana. Pintar sekali dia. Alih-alih membeli sesuatu, aku seakan-akan datang untuk meminjam ransel.
“Pakailah! Jangan lupa oleh-olehnya!” begitu teriaknya seusai ransel berpindah ke tanganku. Suara keras kutangkap sebagai perintah untuk segera pergi. Di saat yang sama seakan memberi penjelasan pada para pembeli yang ada di warungnya. Sambil berjalan pulang kudengar ia sedang mengarang cerita tentang kepergianku untuk mendaki gunung. Pedagang memang pintar membual.
Ransel itu kupegang erat. Berat. Sambil berjalan, tanganku diam-diam memeriksa isinya. Gila. Ada tiga botol. Sesampainya di kamar, kukeluarkan semuanya. Kubaringkan di atas ranjang, di atas beling. Kuambil pembuka botol yang selalu setia berada dalam tas.
Tentu saja botol-botol itu harus kosong terlebih dahulu. Tak ada gelas. Tak pernah ada gelas. Ketiga botol itu sama hijaunya, sama motoknya. Kuraih satu, yang paling dekat dengan pisau. Trak. Terbuka sudah. Mulutku juga terbuka secara otomatis. Mengalirlah, mengalirlah. Kuminum tanpa jeda. Mengalirlah, mengalirlah. Basahlah tenggorokan. Mengalirlah menggenangi dada, mengalirlah dalam darah, bertualang dalam tubuh. Mengalirlah, mengalirlah naik ke kepala. Ah.
Ada yang memberat. Bergoyang. Seperti ranjang yang bergoyang.
Pisaumu melirik tajam. Tajam pada botol yang telah kosong. “Kemarilah, kemarilah!” seperti berbisik. Pisau itu seperti bergoyang, Bergoyang. Seperti kau.  Seperti itu juga dirimu. Terbaring dan berbisik.
“Sebentar!” desahku sambil menjilat tetes terakhir. 
Pelan aku meraih pisaumu, seakan sedang meraih tubuhmu. Kugenggam. Kembali kuasah. Kuasah pada botol. Darahmu sudah hampir mengering. Hanya sedikit yang menempel di hijau botol. Pelan aku mengasahnya. Serupa menyentuhkan tubuhku ke tubuhmu. Kupejamkan mata, menanti saat paling tepat, paling nikmat untuk menciptakan denting. Terngiang seluruh denting yang pernah kau lahirkan. Kepalaku dipenuhi karnaval kenangan. Ada sungai yang tumbuh mengalirkan denting. Aku hendak hanyut dalam sungai yang arusnya menyerupai dirimu. Tidak. Tak ada lagi dirimu. Kubuka mata dan langsung terbentur pada tajam pisau yang masih terasah. Kutarik perlahan. Lantas kudentingkan pada hijau botol. Yang terbit malah lengking. Lengking yang menajam. Lengking anjing. Lengking suaramu. Geram. Kuulangi lagi. Seperti tadi. Berulang-ulang. Dan. Prang. Pecah kembali. Botol tebal itu kembali pecah. Selintas kulihat kilat di tajam pisaumu. Mengerjap. Kenapa nampak seperti kilat matamu. Begitu utuhkah kau merasuk dalam pisau itu.
Masih ada dua botol. Dua botol yang harus kosong terlebih dahulu. Rakus kubuka kembali. Kulumat bibir botol itu. Mengalirlah kembali. Tenggorokan. Dada. Darah. Bermuara di kepala. Semakin berat dan bergoyang. Sebelah tanganku botol, tangan yang lain pisau. Ditubuhku ada gemuruh laut, ada gemuruh kerinduan.
Pisaumu sekarang nampak tersenyum. Senyum nakalmu. Senyum nakalmu itu  yang  selalu menggoda. Yang selalu menggoda dan tak dapat kutolak. Sesekali nampak jelas raut wajahmu. Gerak bibirmu. Pisaumu kucium tanpa sadar. Kucium sisa darahmu itu. Manis. Sedikit kujilat. Kujilat dua sisi tajamnya. Sisi tajamnya. Cepat aku tersadar. Pisaumu menginginkan botol bukan menginginkanku.
Aku asah kembali. Lebih pelan dari tadi, namun lama-lama lebih cepat dari sebelumnya. Nyaris tak terkendali. Bukan lagi kenikmatan yang hinggap. Namun lebih dari amarah dari kepenasaran yang tak terpuaskan. Aku asah penuh tenaga. Sekedar untuk mengambil ancang-ancang untuk mendentingkan. Bukan lagi mendentingkan. Tanganku bergerak semakin kasar. Pisau itu kini aku pukulkan pada botol. Teng. Aku diserbu suara lonceng. Ya. lebih mirip suara lonceng.  Aku pukulkan lagi. Suara lonceng bergema. Lonceng di sebuah menara yang terpencil dan sunyi. Lonceng yang mengabarkan kematian. Lonceng kematian. Aku pukulkan lagi lebih keras. Lebih keras. Lonceng kematian susul menyusul. Lonceng kematianmu seperti mengejarku. Kulirik gerak pisau itu. Ah. Seperti gerak tubuhmu. Prang. Ini kali ketiga. Tubuh botol pecah menjadi dua. Seperti diriku yang kadang kurasakan pecah menjadi dua. Satu untuk terang, satu untuk gelap. Beling makin melimpah di atas ranjang. Beling hijau dan tubuh yang pecah.
Suara tawamu muncul kembali. Tawa dalam puncak luka. Apa bedanya tawa luka dan tawa bahagia jika sama-sama berada di puncak. Tak ada bedanya. Tak.
Kepalaku semakin memberat dan bergoyang. Pisaumu dan botol bir yang tersisa sama-sama bergoyang. Seperti menari. Pisaumu menjelma dirimu, botol bir menjelma diriku. Aku seperti menyaksikan dirimu dan diriku. Di atas ranjang. Di atas beling. Menari di atas beling. Pisaumu semakin menjelma dirimu. Tubuh pisau adalah tubuhmu. Telanjang. Meliuk dan basah. Pelan parasmu berkelebat, tanganmu muncul, kakimu bangkit dan darah mengucur di lambungmu. Begitu pula botol bir, begitu hidup mewujud diriku.  Hampir jatuh kuraih keduanya. Aku ikut bergulingan di atas ranjang. Bergumul di atas beling. Seperti penari kuda lumping tubuhku  menggeliat oleh tusukan beling. Ada yang kembali merasukiku dengan hebat. Tak dapat kutolak, tak dapat kutahan. Ini lebih dahsyat dari senyum nakalmu. Lebih nikmat dari eranganmu.
Aku peluk pisau dan botol. Bergulingan. Bergulingan. Kupeluk dirimu sekaligus diriku.
Pisau itu menikam. Botol itu terbuka. Buih mengalir. Sambil terbaring, kureguk isi botol. Semuanya. Tidak. Sebagian menyiram tubuhku yang terus bergulingan memeluk pisau. Memeluk dirimu. Kupeluk erat. Erat sekali. Aku ingin kau masuk dalam dadaku. Masuk dan tak keluar lagi. Masuk, masuklah. Aku pukulkan botol ke hulu pisau. Aaah! Denting itu. Denting terlahir dari pukulan botol kosong ke hulu pisau, dari pisau yang menusuk tepat ke ulu hati. Barangkali denting itu muncul dari ulu hati yang tertusuk ujung pisau. Aku pukul lagi. Pukul lagi. Semakin menancap. Semakin dalam. Tiba-tiba aku ingin lelap. Tiba-tiba aku mendapat apa yang kucari. Denting. Bening dan jernih.
Aku terus bergulingan. Memeluk pisau dan botol. Serasa memeluk dirimu dan diriku. Dirimu dan diriku. Aku bergulingan di atas luka. Di atas bahagia. Di atas ranjang.***

Kedungpanjang, 2012