Matahari. Terik.
Panas. Membakar. Aku tak tahu hendak dibawa ke mana. Ini katanya ibu kota. Tadi pagi aku sampai di Terminal Rambutan, muntah-muntah di samping
bis. Muntah-muntah tak henti. Sampai pamanku hampir memukulku. Aku lupa mobil
apa yang kunaiki lagi. Begitu berdesakan. Sampai juga di jalan ini. Berteduh
sebentar di bawah jalan layang yang ajaib. Aku lihat gedung-gedung menjulang. Seperti bukit di kampungku. Bukit-bukit yang seringkali longsor.
Ya. Longsor. Rumahku hilang karena longsor juga. Begitu pula ibu dan bapakku.
Hilang dalam timbunan tanah.
Pamanku tak
banyak bicara. Pamankulah yang membawaku dari kampung ke bawah jalan layang. Ibu kota. Ya. Ibu kota. Gedung-gedung itu terus saja bersarang di mataku.
Begitu besar dan tinggi. Kupikir, bukit belakang rumahku, bukit yang longsor itu, kalah tingginya oleh gedung-gedung di sini. Aku tak tahu
apakah gedung-gedung ini juga suka longsor jika musim hujan tiba. Kubayangkan
gedung-gedung itu saling bertubrukan dan jatuh dengan suara yang keras. Seperti
suara batu yang beradu. Bagimana jika jalan layang di atas
kepalaku runtuh. Tiba-tiba saja kepalaku pening dan sakit.
Rokok di jepitan jari pamanku hampir habis. Ia mengisapnya sambil memandang
mobil-mobil yang tak henti melesat di jalanan. Barangkali ia takut untuk menyeberang. Ah, tak mungkin, ia telah puluhan tahun
di ibu kota ini. Kalau aku tentu saja takut dan bingung. Bagaimana caranya menyeberang jalan seramai ini.
Mobil-mobil dan motor saling berlomba di jalanan. Ibu kota ini memang
membingungkan dan menakutkan.
“Ayo!” Pamanku memberi komando
sambil menarik tangan kiriku yang masih menunjuk-nunjuk dan menghitung
gedung-gedung yang menjulang.
Aku menurut
saja. Sekalipun langkahku seringkali terhenti jika melihat mobil yang berpacu
dengan kencang seperti hendak menabrak aku dan pamanku. Setiap kali langkahku
terhenti tiba-tiba, segera saja pamanku melontarkan caci maki. Memarahiku di
tengah jalan, di atas aspal, di bawah matahari, dan di antara suara knalpot juga klakson. Akhirnya
kupejamkan mata. Kubiarkan kakiku melangkah mengikuti tarikan tangan pamanku di
tanganku. Aku tak berani melihat isi jalanan.
Sesampainya di seberang jalan. Aku seperti terlepas dari neraka. Barangkali seperti inilah
jalan menuju surga yang sering dikisahkan oleh guru ngajiku di kampung. Bedanya
ini bukanlah rambut belah tujuh. Tapi tetap saja. Aku tak dapat berjalan. Aku harap,
kelak ada yang menuntunku, seperti pamanku, jika aku berjalan menuju surga.
Kupikir malaikat akan bersedia. Bukankah malaikat itu baik?
Matahari ibu kota kembali membakar kepala dan tubuh. Bayang-bayang di trotoar. Andai
aku bisa berteduh dalam bayang-bayang sendiri. Pamanku terus berjalan. Terus
mencaci. Jalannya cepat sekali. Aku harus berlari-lari agar tidak tertinggal.
Celaka jika tertinggal. Caciannya akan semakin keras dan kasar. Keringat yang
tadi saja belum kering. Kini lebih membanjir. Tubuhku kuyup. Perutku terus
berbunyi. Aku merasa tubuhku dipenuhi mobil dan motor yang berpacu. Penuh
dengan suara knalpot dan klakson.
“Cepat!” Bentak pamanku ketika
aku mencoba berteduh di bawah sebuah pohon. Pohon yang nampak kering dan
tersiksa. Jarang sekali pohon di sini. Tak seperti di kampungku. Pohon-pohon
lebih banyak dari rumah. Ibu kota justru sebaliknya. Padahal pohon adalah surga bagiku.
Tempat bermain paling nyaman. Bisa naik ke dahan-dahan. Berteriak dan bernyanyi
di atas pohon. Bagaimana anak-anak di ibu kota bermain, jika pohon saja
hampir tak ada. Aku teringat ayah yang sering memanjat pohon kelapa di belakang
rumah. Ingat ibu yang setiap sore menyiram tanaman di kebun mungil belakang
rumah. Ayah, ibu, rumah, kebun, pohon kelapa. Semuanya yang hilang dalam
timbunan tanah. Kadang aku menyesal, kenapa malam itu menurut saja disuruh menginap di mesjid
oleh ayahku. Kalau saja aku tidur di rumah, mungkin sekarang masih berkumpul
bersama ayah dan ibu. Berkumpul di surga. Aku sendiri tak tahu surga itu di
mana. Tapi pasti bukan di ibu kota ini. Surga pastinya penuh dengan pohonan.
Pamanku berbalik. Berjalan ke arahku. Tangannya
cepat sekali menangkap tangan kiriku. Menarikku sambil menggerutu. Nyaris
tergusur. Menyusuri trotoar. Menyeberang lagi jalan. Jalan yang lebih kecil. Namun tetap saja mobil dan motor
begitu banyak. Padat dan merayap. Tak ada yang berlesatan. Jalan begitu penuh.
Kadang tak ada yang bergerak. Hanya suara-suara yang berlomba. Aku melirik
wajah-wajah yang terperangkap di jalanan. Wajah-wajah penuh amarah. Mereka
hendak meledak. Aneh, aku seperti melihat orang-orang dengan kepala petasan.
Petasan yang sering kusulut sumbunya dan meledak menjelang malam lebaran.
Pamanku kembali
berbelok ke jalan yang lebih kecil lagi. Pinggiran jalan dipenuhi para
pedagang. Semakin dalam semakin padat. Seperti pasar. Aku kecapean dan
kelaparan. Kakiku seperti tak kuat lagi melangkah. Terseret-seret. Kupaksakan
sebab takut pada kemarahan pamanku. Pamanku seorang pemarah. Pernah kulihat ia
mengamuk dalam rumah. Rumah yang hilang dalam timbunan tanah. Ia membawa golok
dan membentak-bentak ayahku.
“Cepat! Sebentar
lagi sampai. Setelah Pasar Ular ini. Kita sampai!” suaranya seperti
menggelegar.
Pasar Ular. Aku
cepat melihat ke sekeliling. Tapi tak nampak ular. Aku rindu pada ular-ular di
sawah, di pohonan, di sungai. Banyak sekali ular di kampungku. Ular hijau di
pohon rambutan. Ular kobra di batu-batu. Juga ular mungil yang suka ada di
selokan depan rumah. Tapi di sini tak ada ular. Hanya para pedagang dan pembeli. Adapula pedagang
makanan. Ah, perutku dan mulutku seperti hendak lepas dari tubuh dan melompat
ke pedagang makanan itu. Aku melihat macam-macam makanan. Tapi pamanku
sepertinya membenci makanan. Ya. Pamanku membenci segalanya.
Kepalaku tambah pening. Perut perih. Mata
berkunang-kunang. Yang kurasakan hanyalah tarikan tangan pamanku. Tangan yang
kokoh dan kasar. Aku tersaruk-saruk dan hampir jatuh. Tergusur. Tahu-tahu aku
sudah ada di atas punggung pamanku. Matahari seperti berada di punggungku. Lantas segalanya gelap.
Aku terbangun oleh suara orang bercakap. Keras sekali. Tubuhku bergetar.
Panas dan dingin bercampur. Mataku berkeliling letih. Pedih. Sebuah lampu
menggantung. Cahaya berpendar sebelum semuanya nampak jelas. Sudah malam. Barangkali
aku masih bermimpi. O, banyak sekali nyamuk. Bising dan menggigit. Gatal-gatal
sekujur tubuh. Aku tergeletak di atas kasur tipis tanpa ranjang. Bukan. Ini
bukan ranjang. Tapi hamparan kardus. Seperti tikar menutupi seluruh lantai.
Lantai atau tanah. Aku tak tahu. Ada banyak barung-karung kecil bertumpuk di
sudut-sudut kamar. Obat nyamuk bakar mengepulkan asap. Kamar siapa ini.
Dikelilingi triplek dan kardus yang bolong di sana-sini. Ada banyak gambar
perempuan. Kalender. Dan baju-baju yang tergantung. Ah. Baju pamanku ternyata.
Ini kamar pamanku. Pamanku yang katanya puluhan tahun berada di ibu kota.
Lemas sekali. Di samping kasur nampak ada bungkusan. Seperti bungkusan
nasi kalau ada syukuran di mesjid. Perlahan tanganku menggapainya.
Menggapai-gapai. Benar juga. Bungkusan nasi dan di belakangnya terdapat air
minum dalam plastik. Kupaksakan bangun karena perut ini semakin perih.
Sepertinya ada benda runcing yang mengiris-ngiris. Hampir gemetar kubuka
bungkusan itu. Nasi, tempe, dan tahu. Sayang, tempenya tidak seperti tempe
buatan ibuku, yang selalu berwarna kekuningan. Ini hampir hitam seperti gosong.
“Hahaha…! Kau sekarang kebagian ngurus anak kakakmu itu, Sobri? Punya hati
juga kau ini. Itulah karma!” Terdengar suara yang keras dibarengi tawa.
“Begitulah! Aku tak tega melihatnya sendirian di kampung tanpa apa-apa.”
Suara pamanku menyahut tak kalah keras. Aneh, kenapa harus berteriak.
“Lalu mau kau apakan dia di sini? Mau kau sekolahkan lagi?”
“Hahaha..! Jakarta bukan tempat untuk sekolah, Bos! Aku akan ajak dia
kerja. Gerobak kecil bekas si Karja tak dipakai, bukan? Biarlah dia belajar
memakainya mulai besok. Dia harus belajar cari duit!” Ah, suara pamanku seperti sedang gembira dan
bahagia. Padahal belum lama ayah dan ibuku hilang dalam tanah. Dasar.
“Gila, kau ini! Anak sekecil itu! Ah, terserah. Kupikir kau ini sekarang
punya hati. Nyatanya, kau semakin gila!”
“Umurnya lewat 10 tahun. Cukuplah tenaganya untuk medorong gerobak itu.
Jika tidak, akan kubekali karung.”
“Setan, kau! Habiskan minumannya! Jangan lupa hutangmu sudah menumpuk.”
Aku cepat menghabiskan minuman di plastik padahal nasi yang kumakan belum
habis. Sungguh, seperti menyuruhku untuk menghabiskan minuman. Aku
terbatuk-batuk. Air minum muncrat. Nyamuk semakin merajalela. Kamar ini seperti
sarang nyamuk. Tak pernah kulihat dan kurasakan nyamuk sebanyak ini. Apakah ibu
kota memang sarang nyamuk.
Tubuhku tak terlalu lemas lagi. Tenaga mulai bangkit. Tak betah dalam
kamar. Nyamuk dan bau obat nyamuk membuatku ingin pergi keluar. Di luar kudengar lagi suara-suara.
“Besi dua kilo!”
Sepi. Suara barang dilempar. Nyaring.
“Kerompong empat kilo!”
Lagi-lagi suara barang dilempar. Nyaring dan kering.
“Aqua gelas enam kilo!”
“Hey! Sinikan karungnya. Masa sekecil gitu enam kilo?! Cepat, sini!
Bangsat! Cepat ke sini!” Suara orang yang tadi bercakap dengan pamanku terdengar
seperti geledek.
“Kan sudah dikilo, Bos!” Sayup jawaban yang lemah.
Suara barang dilempar. Tak nyaring. Lebih mirip suara karung beras jatuh.
Karung beras kecil yang suka jatuh di penggilingan beras Mang Eman. Di kampung,
penggilingan itu tempatku bermain sambil meminta dedak untuk ayam.
“Sobri! Cepat periksa isi karung itu! Setan kecil ini mau main-main
denganku!” Bentakan yang menyuruh pamanku.
Aku cepat mengintip dari celah-celah triplek yang bolong. Seorang lelaki
tinggi besar nampak sedang memegang buku, telunjuknya lurus menunjuk ke sebuah
karung yang sedang dibuka oleh pamanku. Ada seorang pemuda, berdiri dekat
timbangan. Timbangan besar mirip timbangan di penggilingan padi Mang Eman.
Timbangan yang seringkali kubayangkan sebagai perahu dengan muatan
berkarung-karung padi yang hendak digiling. Pemuda itu ketakutan dekat
timbangan. Wajah dalam terang lampu neon di luar itu mirip kucing bertemu
anjing.
“Bos! Ada batu! Lihat!” Pamanku mengambil sesuatu dari dalam karung. Batu
sebesar batok kelapa diacungkan. Tiba-tiba saja pemuda itu berlari. Aku mundur
perlahan dan kembali duduk di atas kasur. Tempat apakah ini? Sekilas kulihat
tumpukan sampah. Menggunung. Ingin segera kulihat keluar. Barangkali inilah ibu
kota itu sesungguhnya. Tapi aku takut sekali sama pamanku. Aku tak sabar
menanti semuanya sepi dan tidur. Lama aku hanya duduk. Bertempur dengan nyamuk.
Ibu kota. Betapa aku penasaran. Betapa aku merindukan kampung dan
seisinya. Apalagi isi timbunan tanah. Tanah yang sangat kusayangi itu, ternyata
menimbun orang-orang yang kusayangi.
Tak ada lagi teriakan-teriakan.
Aku mengendap ke arah pintu. Pelan kutarik. Gundukan apa gerangan yang menyambut mataku.
Menggunung. Karung-karung yang sangat besar sekali. Saling menumpuk. Bau sekali
udara di sini. Seperti di tempat sampah. Tempat sampah dekat jembatan di
kampungku. Baunya mirip. Ini bahkan lebih bau lagi. Aku menutup hidung.
Barangkali bau neraka seperti ini. Sampah bertebaran di mana-mana. Seluas
lapangan voli. Sampah dan sampah. Dari mulai plastik, botol aqua, aqua gelas,
ember, dan banyak lagi. Dekat timbangan. Ada sebagian ruang yang diberi atap
terpal. Kardus bertumpuk di sana. Penuh sekali. Di bagian lain besi dan kaleng
berserakan. Ibu kota kok seperti tempat sampah. Bau.
Angin malam mengirim bau itu dengan kejam. Malam. Tapi gerah sekali.
Berkeringat. Aku melangkah keluar. Ada beberapa gerobak berjejer. Pamanku nampak
sedang membetulkan sebuah gerobak kecil. Aku mengendap lagi. Ah. Ternyata ada
beberapa kamar. Ada empat kamar. Kamar dari triplek semuanya, berdempetan. Aku
berjalan. Mengintip setiap kamar. Kamar samping kamarku kosong dan gelap. Ah,
kamar yang lain nampak terang dan ada suara anak kecil yang menangis pelan. Aku
mengintip. Ah, seorang nenek-nenek terbaring bersama empat orang anak-anak
kecil. Berdesakan. Saling menindih. Ada seorang ibu sedang menyusui bayi.
Bersandar pada triplek. Bagaimana mereka bernapas di sana. Tapi setidaknya mereka
akan sanggup menahan serbuan nyamuk karena mereka banyak orang.
Kamar terakhir. Kamar paling bagus. Ada bangku-bangku mungil di depannya,
ada banyak botol. Kamar ini berhadapan dengan timbangan. Lampunya paling
terang. Ada suara TV.
“Hey! Ngapain kau ngintip kamar Bos? Dasar! Sini!” Suara pamanku
menghentikan langkahku. Gemetar aku berbalik. Sekilas aku melihat banyak mainan
di antara tumpukan barang-barang. Tumpukan sampah itu. Ah, mainan. Sekilas
saja, sebab aku langsung menghampiri pamanku.
“Ini gerobak untukmu! Mulai besok kau kerja! Aku mau tidur!” pamanku
menunjuk gerobak yang tadi diperbaikinya. Kemudian ia berjalan. Jalannya
sempoyongan. Seperti orang mabuk. Ah, mungkin ia belum makan. Kelaparan. Ia
terus sempoyongan hingga akhirnya berpegangan pada pintu kamar, tak lama
terdengar suara tubuh yang jatuh.
Aku sendiri. Di bawah bulan. Di tengah lautan sampah. Ibu kota tak kukira
seperti ini. Bau dan kotor. Aku semakin yakin saja bahwa ibu kota adalah
neraka. Apa salahku hingga sampai di neraka. Pamanku mungkin iblis. Aku
bergidik. Ingin segera pergi dari sini. Aku lihat lampu bertebaran di mana-mana.
Seperti kunang-kunang yang kutangkapi di pekarangan mesjid. Aku ingin pergi ke
setiap lampu itu. Aku ingin pergi dari neraka ini. Ada suara berderak. Samar-samar ada yang
bergerak. Barangkali ini juga iblis yang lain. aku bersembunyi. Ada gerobak
didorong. Tiga gerobak. Beriringan. Penasaran. Aku dekati. Ah, ternyata orang
juga.
Pelan mereka menyusuri jalan sempit yang tak rata. Suara derak roda
gerobak kadang begitu gaduh. Mereka berbelok ketika sampai di jalan yang besar.
Diam-diam aku mengikuti. Begitu banyak tempat seperti tempat pamanku.
Karung-karung, sampah bertebaran, dan tumpukan kardus, tumpukan besi dan
gerobak-gerobak serta kamar-kamar triplek. Berjejalan sepanjang jalan. Rumah-rumah berdempetan.
Tak ada pohon sama sekali. Aku berusaha menghapal jalan di neraka ini. Malam
semakin gerah.
Tiba-tiba saja. Sampai di sebuah gerbang. Tuhan. Cahaya begitu gemerlap di
mana-mana. Warna-warni. Lama aku mengucek-ngucek mata. Bahkan ada pohon-pohon
yang berdaun cahaya. Secepat inikah neraka berganti dengan surga. Di hadapanku
nampak bangunan-bangunan indah. Seperti dalam dongeng. Kenapa ibu kota
mempunyai banyak wajah. Menakutkan sekaligus mempesona.
“Seandainya kita bisa masuk ke perumahan mewah itu, sampahnya bisa bikin
kita kaya!” Kata salah seorang pendorong gerobak disambut tawa teman-temannya.
Aku masih tak percaya dengan mata ini. Sungguh seperti dalam dongeng. Aku
membayangkan putri dan pangeran di dalamnya, bahkan kuda terbang. Aku mematung
di pinggir jalan. Aku tidak mengerti kenapa
surga dan neraka begitu dekat dan rapat. Ah, di manakah gerangan ayah
dan ibu berada.
Tujuh tahun telah berlalu. Saat ini, sambil mendorong gerobak dan mencari
rongsokan. Aku masih tak mengerti kenapa surga dan neraka begitu dekat dan
rapat.
***
Kedungpanjang 2011